SEBUAH PENJARA ITU BERNAMA SEKOLAH

Saya saat ini masih dalam frame ‘miris’. Pengalaman mengejutkan tentang perilaku guru pada siswanya sampai sekarang belum sebaik yang saya baca di blog Sekolah Alam, cerita-cerita di buku, dan diskusi dengan kawan-kawan di tempat kuliah atau di lembaga pendidikan unformal. Pertentangan antara pendidikan yang membebaskan dengan muatan-muatan titipan dan pesanan-pesanan masa depan membuat saya sering frustasi. Siapa yang mendukung saya? Siapa yang tidak setuju dengan sikap oknum guru yang kelewatan kasar, menendang tubuh siswa ketika gaduh sewaktu upacara akan dimulai? Siapa yang mendukung saya, untuk mengurangi beban hidup mereka, “Tidak ada PR, anak-anak!” Siapa yang bisa kompak menentang hukuman berdiri di depan kelas selama jam pelajaran dan lari mengitari lapangan jika tidak mengumpulkan tugas? Siapa yang bisa diajak bertukar pikiran tentang sekolah yang kembali ke zaman Flinstone? Di sekolah tempat saya mengajar tidak saya temukan siapa-siapa. Akibatnya, saya sangat tidak menikmati hari-hari mengajar. Datang ketika jamnya dan segera pulang jika jam mengajar berakhir.

Jika di Sekolahku Cintaku ada PTTN, saya ingin ada juga pembebasan terhadap dogma jati diri guru, tentu saja selain arahan-arahan untuk membebaskan diri dari belenggu penjara sekolah-bukankah pengekangan sama dengan penjara? Dulu guru harus bersanggul-berkebaya, untuk yang perempuan. Sekarang? Baju safari, sepatu fantopel, tas kerja seperti menjadi atribut wajib bagi seorang guru. Image building, mungkin. Padahal.saya akan bebas berekspresi dengan pakaian sporty. Saya rasa tak masalah makan siang bareng anak-anak, kumpul dengan mereka dan mengomentari kisah seru remaja. Tak salah saya menggunakan ransel, karena di dalamnya saya bisa bawa banyak buku cerita dan benda-benda aneh untuk mereka amati. Bukankah seperti itulah seharusnya seorang guru. Apa bedanya kita dengan mereka? Sadar atau tidak, kita sering berganti posisi dengan siswa/i itu. Mereka mengajarkan banyak hal. Mereka guru dan kita murid. Tentu akan sulit bagi kita untuk mempelajari mereka dengan utuh jika terjadi dikotomi. Bukankah kita adalah kawan yang membuat mereka merasa nyaman untuk bertanya dan menjawab banyak hal dengan gaya mereka sendiri?

Sering saya berpikir, apa saya tidak dewasa? Pertanyaan ini timbul akibat tidak percaya diri terhadap cita-cita yang sengaja digantungkan setinggi langit. Haha.sekarang saya jadi tertawa sendiri. Ternyata, menjadi dewasa sering kali menjadi kejam terhadap diri sendiri dan jika kita seorang guru atau (calon) orang tua, maka kita sudah sangat kejam terhadap masa depan siswa dan (calon) anak-anak kita. Iya, kan? Orang-orang yang memformat kedewasaan seringkali malah mengabaikan hal-hal kecil dan mulia untuk dilakukan, seperti tersenyum kepada orang lain yang berlaku kocak, bertanya tentang banyak hal yang mengherankan, ikut menyumbangkan saran terhadap pemecahan masalah orang lain tanpa tendensi, dan perilaku-perilaku lain yang tulus dan spontan.

Jadi, kesimpulan saya, menjadi dewasa seharusnya menjadi lebih mengerti tentang dunia dan tidak begitu saja terpengaruh terhadap sederetan tuntutan yang sering kali tidak manusiawi. “Hei, itu! Ya, yang di sana. Kamu tertawa terus dari tadi. Apa yang lucu? Coba, konsen sedikit lah!” Ini teguran keras saya pada siswa yang bercanda ketika pelajaran dimulai.(maklumlah, lagi frustasi) Padahal, mereka kan anak-anak. Kelak mereka akan selalu konsentrasi saat konsentrasi pada pelajaran memang benar-benar dirasakan manfaatnya. Sedangkan kini? Sekolah? Ah, beraaaat! Konsentrasi? Susaaaah! Jadi pintar? Jauuuuh!

Saya gemas. Ingin rasanya kusulap sebuah sekolah yang menyenangkan bagi anak-anak. Sebuah sekolah yang semua programnya disambut dengan ceria dan mereka berlomba-lomba untuk mengajak orang-orang di sekitarnya dengan bahagia untuk mendengarkan pengalaman bersekolah. Mereka akan bercerita tentang petualangan bersama gurunya, tentang pemberian sumbangan, tentang penghargaan terhadap karya, tentang perencanaan kegiatan belajar, tentang diskusi di pinggir sungai kecil, dan sebagainya, dan sebagainya. Mereka hidup. Mereka tak takut dengan masa depan dan kedewasaan.

Insyaallah ini bukan sekadar mimpi. Kelak, anak-anak di banyak tempat akan bersorak, “Ayooo seeekooolaaah!!!”

STOP VIOLENCE di SEKOLAH

Tinggalkan komentar